Rabu, 22 Juni 2011

Bukan salah-mu, jika kebenaran terlalu lama terungkap!

ditulis oleh: m. muhadzis g.

Setidaknya, kalimat tersebut sedikit menenangkan jika segunung persoalan seolah sedang berada diatas pundak kita. Sama saja, entah kalimat tersebut diucapkan oleh diri sendiri, oleh orang lain yang mengenal kita, atau bahkan oleh orang lain yang sama sekali tidak mengenal kita. Jika kalimat tersebut sungguh-sungguh ditujukan kepada kita, kecenderungan untuk bisa lebih santai setelah mendengar kalimat tersebut acapkali terjadi dan ketika itu terjadi, ternyata memang sangat menenangkan.

Adalah sebuah oase diantara keringnya medan perjalanan yang begitu panjang dan berliku, ketika seseorang secara tak sengaja mendengar kalimat yang mampu menenangkan dirinya. Betapa sebuah dahaga, sekejap saja bisa langsung sirna, jika sebentar saja sebuah ketenangan menyapa. Kerinduan akan suatu masa dimana seseorang pernah dengan sangat bahagia menggenggam sebuah ketenangan, tak syak lagi menjadi semacam kerinduan yang mendendam. Yang senantiasa ingin terbalaskan. Senantiasa ingin lagi dan lagi merasakan ketenangan seterus-terusnya, selama-lamanya mengiringi medan perjalanan yang kering dan tanpa henti.
Namun sayang, tik-tak kesadaran yang membungkus tubuh seseorang, menjadikan sebuah ketenangan malah seringkali berada diluar tubuh itu sendiri. Berada jauh diluar jangkauan dirinya sendiri. Ketenangan ini tak disangka berada diluar segala pencapaian. Tik-tak kesadaran yang menempel pada tubuh seseorang adalah yang paling sering menjadi penyebab gagal-nya pencapaian seseorang untuk meraih ketenangan. Tik-tak kesadaran lebih berat kadar-nya pada perbuatan mengayomi kenyataan agar sesuai dengan keinginan daripada perbuatan mengagumi mimpi yang tidak sesuai dengan keinginan. Padahal bukan tidak mungkin, bahwa apa-apa yang tidak tampak sebagai kenyataan pada saat ini adalah sangat mungkin terjadi pada saat yang lain.
Telah dimafhumi bahwa apa-apa yang terjadi pada diri seseorang pada saat ini adalah buah dari perbuatan yang ia tanam pada saat yang lalu. Dan apa-apa yang ditanam pada saat ini akan berbuah pada saat yang akan datang. Tetapi “jalur” perjalanan seseorang yang seperti ini tidak serta merta terjadi dan diamini oleh sebagian orang lainnya. Alangkah banyak “buah” tidak terduga yang seseorang dapatkan padahal ia tidak merasa “pernah” menanam. Hal ini berarti, ada ruang ekspektasi yang lain yang tidak pernah sama sekali berada dalam daftar ekspektasi seseorang didalam menempuh perjalanannya. Lalu dari mana datangnya ekspektasi tersebut?
Menjawab sesuatu dengan keumuman untuk sesuatu yang khusus, tidak pernah terdengar memuaskan. Karena kekhususan selalu berkorespondensi dengan orang-orang tertentu (yang tidak umum). Mempercayai apa yang dilihat tanpa perlu untuk mencari tahu penyebab-nya kadang-kadang malah lebih menyenangkan. Begitu juga jika harus dihadapkan dengan pertanyaan semacam “darimana datangnya ekspektasi tersebut?”. Tidak mudah menjawab-nya. Namun, selalu ada jawaban sederhana untuk setiap pertanyaan yang terlihat kompleks. Biarkan saja ekspektasi tersebut menjadi kenyataan tanpa harus berekspektasi bahwa kenyataan yang sama bakal terjadi lagi. Karena bergantung pada ekspektasi yang terlalu kecil adalah sesuatu yang berat dan menyakitkan, meski kadang-kala berhasil. Permasalahan utama-nya adalah bahwa ekspektasi itu harus selalu ada, tanpa terlalu besar ataupun terlalu kecil.
Setelah itu ada permasalahan lain, yakni ketakutan. Ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu mendorong seseorang untuk mempunyai pertahanan sebagai tameng ketika berdalih. Tameng inilah yang disebut sebagai sebuah ketakutan. Perihal ini (ketakutan) adalah perlu jika seseorang berhadapan dengan sesuatu yang berada diluar kemampuannya, hal ini untuk menghindari perbuatan nekat tanpa perhitungan yang bisa berakibat fatal bagi dirinya sendiri atau bahkan bagi orang lain. Ketakutan telah seringkali menyelamatkan seseorang dari akibat-akibat yang tidak diinginkan. Ketakutan juga acapkali menjadi pertimbangan terakhir ketika mengambil keputusan. Ketakutan semacam inilah yang nilai-nya harus tersambung dengan nilai ekspektasi. Nilai ketakutan dan nilai ekspektasi harus sejajar dan seimbang. Agar ekspektasi dan ketakutan membawa seseorang pada “jalur” yang benar dalam perjalanan-nya. Namun, pasti ada ketakutan yang tidak perlu. Ketakutan apa yang tidak diperlukan yang bahkan harus dibuang jauh-jauh?
Ketakutan pada sesuatu yang lebih besar nilai-nya daripada nilai dimana ketakutan itu seharusnya berada, adalah ketakutan yang tidak perlu. Ketakutan itu mempunyai batas, terdapat interval dimana ketakutan bisa bergerak naik-turun atau maju-mundur didalamnya. Tidak sepatutnya seseorang mempunyai ketakutan melebihi atau kurang dari ambang batas yang seharusnya. Tentu saja, interval tersebut akan sebanding dengan besarnya ekspektasi yang dimiliki seseorang. Melayani ketakutan dengan terus-menerus bertanya apa yang bakal menimpa diri sendiri, masih menjadi permasalahan yang harus dihadapi hingga hari ini, oleh siapapun. Seseorang seringkali merasa takut jika ada sesuatu yang tidak diinginkan bakal menimpa diri-nya. Itu pasti dan terjadi pada semua orang. Tetapi jika ketakutan itu terus membesar tanpa pernah mencoba untuk mengatasinya, maka seseorang harus bersiap dengan apa yang akan terjadi karena ketakutan-nya sendiri. Sesuatu yang ditakutkan akan benar-benar terjadi dan menimpa diri-nya karena ia tidak pernah mencoba untuk mengatasinya atau setidak-tidak-nya mencari-tahu penyebab-nya.
Lalu ada lagi, ketakutan terhadap apa yang bakal menimpa pada diri orang lain. Tepatnya, orang lain ini sangat berarti bagi dirinya. Orang lain ini menempati ruang yang sangat khusus didalam hati dan pikirannya. Sehingga ia sangat tidak menginginkan, jika sesuatu yang buruk menimpa orang lain tersebut. Dari sinilah ketakutan itu bermula, rasa memiliki sesuatu yang berada diluar dirinya sendiri, yakni rasa memiliki orang lain. Adalah sah apabila seseorang merasa takut kalau-kalau sesuatu terjadi pada kekasih yang dicintai-nya, adalah juga sah apabila seseorang merasa takut jika sesuatu terjadi pada anak yang disayanginya dan sangat-lah beralasan ketika seseorang merasa takut akan sesuatu yang bakal terjadi menimpa saudara yang dihormati-nya. Namun ketakutan itu tetaplah tidak boleh berlebihan. Karena dengan logika yang sangat sederhana, rasa memiliki yang terlalu berlebihan, menjadikan ruang didalam hati dan pikiran menjadi benar-benar kosong ketika apa-apa yang dimiliki tersebut tiba-tiba hilang. Keadaan kosong seperti inilah yang semestinya dihindari oleh setiap orang. Keadaaan ini membuat pelaku-nya hanya mengingat-ingat rasa memiliki itu secara terus menerus, padahal apa-apa yang dimiliki-nya itu kini telah hilang. Disisi lain, ia harus terus hidup dan meneruskan perjalanan-nya tanpa terhenti hanya karena ada sebuah kekosongan didalam ruang hati dan pikiran-nya.
Kalau sudah begitu, hanya kalimat-kalimat yang menenangkan yang mampu membuat seseorang kembali mau meneruskan perjalanan-nya. Kalimat “bukan salah-mu, jika kebenaran terlalu lama terungkap!” untuk sebagian orang mungkin harus diganti menjadi, “bukan salahmu, jika ketakutan itu benar-benar menjadi kenyataan!”. Dengan konsekuensi tanpa mengkambing-hitamkan siapapun atas ketakutan-ketakutan yang kemudian menjadi kenyataan tersebut.
Wallahu’alam wallahul must’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar